Artikel ini mengutip tulisan berjudul
“Piagam Jakarta dan Dekrit Presiden” dari zfikri.wordpress.com Banyak orang yang
‘alergi’ dan merasa perlu ‘mengalihkan pembicaraan’ jika saya ajak berdiskusi
dan melibatkan topik bahasan tersebut diatas.
Hal tersebut justru membuat saya
semakin penasaran dan merasa perlu mengangkat issue tersebut untuk kita
renungkan kembali secara bersama-sama . Sama sekali tak ada urusannya dengan
“agenda” tersembunyi dibenak saya (wong cuman seniman) , namun sekedar berupaya
agar menjadikannya kembali sebagai sebuah masaalah yang jelas dan transparan
dihadapan kita semua…., apa sebenarnya yang tengah terjadi? .
Seperti apakah sebenarnya yang dianggap
oleh tokoh-tokoh politik sebagai tindakan “men-diskriminasikan”
umat beragama non muslim , atau kekhawatiran bahwa Republik ini akan menjadi
“negara Islam” seperti layaknya negara-negara di Timur Tengah , misalnya .
Benarkah ancaman tersebut akan terbukti?, sehingga sejak
dari mulai pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga di era pasca reformasi ini
, politisi-politisi kita terkesan “ambivalen” dalam hal-hal tertentu yang
terkait dengan masalah “Berkeyakinan Agama” lalu bahkan juga ter-asumsi ber
“improvisasi politik” tanpa konsep bernegara yang jelas , hendak dibawa
kemana sebenarnya….bangsa-bangsa di Republik ini .
Semboyan saya hanya mengacu kepada
semboyan lama : “Bangsa besar adalah bangsa yang mampu menghormati jasa para
pahlawan-pahlawannya”.
Mari.., tanpa berpretensi “buruk
sangka” yang berlebihan kita renungkan kembali , sebagai bekal menghadapi
“carut-marut” situasi politik yang terjadi . Yang juga secara nyata-nyata telah
merampas arti kemerdekaan bagi sebuah bangsa dan negara Republik Indonesia yang
kita cintai bersama .
-O-
. PIAGAM JAKARTA
Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di
atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan
peri keadilan.
Dan perjuangan
pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia
dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur.
Atas berkat rahmat
Allah yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya.
Kemudian dari pada itu
untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang berbentuk dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada :
Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan berada, persatuan Indonesia, dan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Jakarta, 22 Juni 1945
Ir. Soekarno
Drs. Mohammad Hatta
Mr.A.A. Maramis
Abikusno Tjokrosujoso
Abdulkahar Muzakkir
H.A. Salim
Mr. Achmad Subardjo
Wachid Hasjim
Mr. Muhammad Yamin
————————————————–
Drs. Mohammad Hatta
Mr.A.A. Maramis
Abikusno Tjokrosujoso
Abdulkahar Muzakkir
H.A. Salim
Mr. Achmad Subardjo
Wachid Hasjim
Mr. Muhammad Yamin
————————————————–
Jumat, 22 Juni 2007
Menjaga Spirit Piagam Jakarta
Oleh :
M Fuad Nasar
Anggota Badan Amil Zakat Nasional
Anggota Badan Amil Zakat Nasional
Tanggal 22 Juni mempunyai arti istimewa
bagi seluruh bangsa Indonesia. Pada tanggal itu dalam sidang Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tercapai sebuah konsensus
nasional dan gentlemen agreement tentang dasar negara Republik
Indonesia. Konsensus nasional yang mendasari dan menjiwai Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu dituangkan dalam suatu naskah yang oleh Mr
Muhammad Yamin disebut Piagam Jakarta.
Titik kompromi dimaksud terutama
tercermin dalam kalimat, ‘negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat,
dengan berdasar kepada ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam
bagi pemeluk-pemeluknya’. Kalimat ini merupakan rumusan pertama lima prinsip
falsafah negara yang oleh Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945 dinamakan
Pancasila.
Dokumen politik tanggal 22 Juni 1945
itu disusun dan ditandatangani oleh panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI.
Anggotanya adalah Ir Soekarno, Drs Mohammad Hatta, Mr AA Maramis, Abikoesno
Tjokrosoejoso, Abdoel Kahar Moezakir, HA Salim, Mr Achmad Soebardjo, Wachid
Hasjim, dan Mr Mohammad Yamin. Waktu itu, Ir Soekarno selaku pimpinan rapat
dengan segenap kegigihannya mempertahankan Piagam Jakarta sebagaimana dapat
dibaca dalam risalah sidang BPUPKI.
Prawoto Mangkusasmito dalam bukunya Pertumbuhan
Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi (1970), menulis, “Timbul
sekarang satu historische vraag, satu pertanyaan sejarah, apa sebab
rumus Piagam Jakarta yang diperdapat dengan susah payah, dengan memeras otak
dan tenaga berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka dari bangsa kita, kemudian
di dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan pada tanggal 18 Agustus 1945 di
dalam beberapa menit saja dapat diubah.”
Dalam buku Sekitar Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 (diterbitkan 1969), Bung Hatta menceritakan apa
yang dialaminya pada sore hari 17 Agustus 1945 sebagai berikut. “Pada sore
harinya saya menerima telepon dari tuan Nisyijima, pembantu Admiral Mayeda
menanyakan, dapatkah saya menerima seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut), karena
ia mau mengemukakan suatu hal yang sangat penting bagi Indonesia. Nisyijima
sendiri akan menjadi juru bahasanya. Saya persilakan mereka datang. Opsir itu
yang saya lupa namanya datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan dengan
sungguh-sungguh, bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam daerah-daerah
yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang, berkeberatan sangat terhadap bagian
kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi ‘Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’. Mereka mengakui
bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang
beragama Islam. Tetapi tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar
yang menjadi pokok Undang-Undang Dasar berarti mengadakan diskriminasi terhadap
golongan minoritas. Jika diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka lebih suka
berdiri di luar Republik Indonesia.
Bung Hatta yang menerima kabar penting
itu, masih punya waktu semalam untuk berpikir. “Karena opsir Angkatan Laut
Jepang itu sungguh-sungguh menyukai Indonesia Merdeka yang bersatu sambil
mengingatkan pula semboyan yang selama ini didengung-dengungkan ‘bersatu kita
teguh dan berpecah kita jatuh’, perkataannya itu berpengaruh juga atas
pandangan saya. Tergambar di muka saya perjuangan saya yang lebih dari 25 tahun
lamanya, dengan melalui bui dan pembuangan, untuk mencapai Indonesia Merdeka
bersatu dan tidak terbagi-bagi. Karena begitu serius rupanya, esok paginya
tanggal 18 Agustus 1945, sebelum sidang panitia Persiapan bermula, saya ajak Ki
Bagus Hadikusumo, Wahid Hasjim, Mr Kasman Singodimedjo, dan Mr Teuku Hasan dari
Sumatera mengadakan suatu rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah itu.
Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan
bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan
Ketuhanan Yang Maha Esa.” ungkap Hatta.
Tetap hidup
Perjanjian luhur pun disepakati antara golongan Islam dan golongan kebangsaan serta golongan lainnya yang telah dicapai melalui Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Pada 18 Agustus 1945 para pemimpin Islam bersedia mencoret kata-kata, ‘dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya’, setelah kata ‘ke-Tuhanan’. Ini merupakan cermin sikap kenegarawanan dan komitmen pada persatuan bangsa yang tiada bandingnya sepanjang sejarah Republik Indonesia.
Perjanjian luhur pun disepakati antara golongan Islam dan golongan kebangsaan serta golongan lainnya yang telah dicapai melalui Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Pada 18 Agustus 1945 para pemimpin Islam bersedia mencoret kata-kata, ‘dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya’, setelah kata ‘ke-Tuhanan’. Ini merupakan cermin sikap kenegarawanan dan komitmen pada persatuan bangsa yang tiada bandingnya sepanjang sejarah Republik Indonesia.
Dalam perkembangan di kemudian hari,
sehubungan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali Undang-Undang
Dasar 1945, dalam konsiderans dekrit, Presiden Soekarno atas nama rakyat
Indonesia menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juli 1945 menjiwai
Undang-Undang Dasar. Pertanyaan yang mendasar diajukan oleh dua orang anggota
DPR yaitu Anwar Harjono (Masyumi) dan HA Sjaichu (NU) kepada pemerintah yang
diwakili Perdana Menteri Juanda menyangkut rencana kembali ke UUD 1945 serta
maksud dari pengakuan Piagam Jakarta dan pengaruhnya dalam UUD 1945. Jawaban
resmi pemerintah yang disampaikan oleh Perdana Menteri Juanda adalah bahwa
pengaruh Piagam Jakarta tersebut tidak mengenai Pembukaan UUD 1945 saja, tetapi
juga mengenai Pasal 29 UUD 1945. Dengan demikian perkataan ‘Ketuhanan’ dalam
Pembukaan UUD 1945 dapat diberikan arti ‘Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat
Islam untuk menjalankan syari’atnya sehingga atas dasar itu dapat diciptakan
perundang-undangan bagi para pemeluk agama Islam, yang dapat disesuaikan dengan
syari’at Islam’.
Tidak dapat dipungkiri bahwa spirit
Piagam Jakarta sebagai dokumen ideologis dan historis tetap terpatri dalam
konstitusi negara kita. Meski telah 4 kali diamandemen UUD 1945 di masa
reformasi dan saat ini kembali bergulir usulan amandemen kelima, diharapkan
spirit Piagam Jakarta tetap hidup dalam hati sanubari para pemimpin dan segenap
warga bangsa yang
Jumat, 22 Juni 2007
Jangan Ingkari Piagam Jakarta
Oleh :
Ahmad Sumargono
Ketua Pelaksana Harian KISDI
Ketua Pelaksana Harian KISDI
Tanggal 22 Juni 1945, merupakan saat
yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, karena saat itu atau 62 tahun
yang lalu telah lahir Piagam Jakarta yang merupakan ruh dalam meletakkan
landasan hukum pembangunan bangsa ini. Piagam Jakarta adalah naskah otentik
Pembukaan UUD 45. Naskah tersebut disusun oleh Panitia Sembilan bentukan BPUPKI
yang terdiri dari Ir Soekarno, Mohammad Hatta, AA Maramis, Abikusno
Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, Haji Agus Salim, Achmad Subardjo, Wachid
Hasjim, dan Muhammad Yamin. Dalam alinea keempat naskah itu tercatat kalimat:
“…. kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja….’’
Pada 9 Juli 1945, Soekarno menyebut
Piagam Jakarta sebagai gentlemen’s agreement antara kelompok
nasionalis-sekuler dan nasionalis-Muslim. Tapi pada 18 Agustus 1945, tujuh kata
vital tadi akhirnya didrop. Alasannya, umat Kristen di Indonesia Timur tidak
akan turut serta dalam negara Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan
bila tujuh kata itu tetap dicantumkan dalam Pembukaan UUD 45 sebagai Dasar
Negara.
Mengomentari ultimatum itu, Dr M Natsir
mengatakan, “Menyambut hari Proklamasi 17 Agustus kita bertahmied. Menyambut
hari besoknya, 18 Agustus, kita beristighfar. Insya Allah umat Islam tidak akan
lupa.” Upaya kekuatan Islam untuk merehabilitasi Piagam Jakarta pada Sidang
Majelis Konstituante 1959 disabotase oleh Presiden Soekarno dengan menerbitkan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Gagal lah usaha tersebut hingga sekarang.
Meskipun demikian, tokoh Masyumi Prof
Kasman Singodimedjo dalam biografinya mengingatkan, “Piagam Jakarta sebenarnya
merupakan gentlemen’s agreement dari bangsa ini. Sayang, kalau generasi
selanjutnya justru mengingkari sejarah.” memasuki era reformasi, UUD 45 memang
mengalami amandemen. Hingga ini telah diamandemen sebanyak 4 kali, yakni pada
tahun 1999 hingga yang terakhir tahun 2002.
Amandemen itu menimbulkan kontroversi.
Ada yang menginginkan kembali ke UUD 45 yang asli (versi Dekrit). Sebagian lagi
ingin mempertahankan UUD yang sudah diamandemen yaitu UUD 2002, dan ada yang
menginginkan UUD yang sudah diamandemen ini diamandemen kembali untuk kelima
kalinya. Untuk yang terakhir ini, sebagian mengusulkan amandemen terbatas, dan
sebagian lagi amandemen overwhole atau keseluruhan. Tapi dalam
kenyataannya jangankan merehabilitasi Piagam Jakarta, pembahasan amandemen UUD
45 malah sempat menggugat eksistensi Pasal 29 yang menegaskan landasan
ketuhanan bangsa.
Makin liar
Amandemen berikutnya cenderung semakin liar. UUD Amandemen 2002 adalah kran awal dari intervensi asing dalam perundang-undangan. Secara umum modus operandi imperialisme lewat jalur UU dapat dikategorikan dalam beberapa cara (Al Wa’ie No70 Tahun VI, 1-30 Juni 2006). Pertama, intervensi G2G (government to government), yakni pemerintah asing secara langsung menekan pemerintah suatu negara agar memasukkan suatu klausul atau agenda dalam perundangannya dan model G2G seperti ini. Contohnya pernyataan bahwa Indonesia sarang teroris, baik yang dilontarkan AS, Australia, maupun Singapura bertujuan untuk mendesak agar Indonesia menerapkan UU antiteroris yang lebih ketat.
Amandemen berikutnya cenderung semakin liar. UUD Amandemen 2002 adalah kran awal dari intervensi asing dalam perundang-undangan. Secara umum modus operandi imperialisme lewat jalur UU dapat dikategorikan dalam beberapa cara (Al Wa’ie No70 Tahun VI, 1-30 Juni 2006). Pertama, intervensi G2G (government to government), yakni pemerintah asing secara langsung menekan pemerintah suatu negara agar memasukkan suatu klausul atau agenda dalam perundangannya dan model G2G seperti ini. Contohnya pernyataan bahwa Indonesia sarang teroris, baik yang dilontarkan AS, Australia, maupun Singapura bertujuan untuk mendesak agar Indonesia menerapkan UU antiteroris yang lebih ketat.
Kedua,
intervensi W2G (world to government), yakni lembaga internasional
(seperti PBB, WTO, IMF) yang mengambil peran penekan. Contohnya agenda UU yang
terkait globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan (UU perbankan, UU
migas, UU tenaga listrik, UU sumber daya air). Ketiga, intervensi B2G (bussines
to government). Para pengusaha dan investor menekan pemerintah agar
meluluskan berbagai kepentingan mereka dalam undang-undang. Contohnya agenda UU
yang terkait dengan investasi, perpajakan, dan perburuhan.
Keempat,
intervensi N2G (non government organization to government). Pihak non
government organization ini dapat berupa orang asing atau lokal murni tapi
disponsori asing. Mereka bisa mendatangi para penyusun UU (teror mental) hingga
demo besar-besaran. Contoh pada UU tentang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga(UU KDART) dan penolakan RUU antipornogarfi dan pornoaksi.
Kelima,
intervensi I2G (intellectual to government). Kaum intelektual, para
ilmuwan, bahkan tokoh agama dapat dipakai untuk menekan pemerintah agar
meloloskan suatu agenda dalam perundangannya. Jenis ini merupakan intervensi
paling rapi dan paling sulit dideteksi. Contohnya terlihat pada agenda
penyusunan UU Otonomi Daerah
LSM asing yang terlibat aktif dalam
penyusunan UU adalah National Democration Institute (NDI) yang dalam
operasionalnya didukung CETRO. Mereka mempunyai program constitutional reform.
Ditengarai ada dana 4,4 miliar dolar AS dari Amerika Serikat (AS) untuk
membiayai proyek tersebut. Bahkan NDI dan CETRO mendapat fasilitas di Badan
Pekerja (BP) MPR hingga dengan mudah mengikuti rapat-rapat di MPR.
Sebagai konsekuensinya, undang-undang
yang berada di bawah UUD 45 Amandemen itu pun bersifat liberal. Hasilnya,
lahirlah UU Migas, UU Listrik (meski kemudian dibatalkan oleh MK), UU Sumber
Daya Air (SDA), dan UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga(UU KDRT).
Pakar minyak, Qurtubi dalam diskusi
bertema ‘UUD 1945 vs UUD 2002′ di kantor Institute for Policy Studies Jakarta
membenarkan masuknya paham liberalisme dalam UU Migas dan UU Sumber Daya Air.
Belakangan juga disahkan UU Penanaman Modal yang memberikan karpet merah bagi
kekuatan asing untuk menguasai 100 persen kekayaan Indonesia untuk kemudian
melakukan repatriasi.
Dampaknya mulai terasa
Dampak nyata dari UU tersebut sudah terasa. Melalui UU Migas, Pertamina, yang notabene perusahaan milik rakyat, saat ini bukan lagi pemain tunggal. Pertamina harus bersaing dengan perusahaan minyak asing seperti Shell, Exxon Mobil, Mobil Oil, dan sebagainya. Dalam kasus pengelolaan ladang minyak Blok Cepu Jateng, Pertamina harus kalah melawan Exxon Mobil.
Dampak nyata dari UU tersebut sudah terasa. Melalui UU Migas, Pertamina, yang notabene perusahaan milik rakyat, saat ini bukan lagi pemain tunggal. Pertamina harus bersaing dengan perusahaan minyak asing seperti Shell, Exxon Mobil, Mobil Oil, dan sebagainya. Dalam kasus pengelolaan ladang minyak Blok Cepu Jateng, Pertamina harus kalah melawan Exxon Mobil.
Semua ini adalah merupakan musibah
nasional, karena elite politik dan para pemimpin bangsa ini telah kehilangan
rasa kebangsaan dan religiusitas. Mereka terlalu mudah menggadaikan kepentingan
bangsa untuk kepentingan kelompok dan golongan melalui pendekatan pragmatis.
Rasa idealisme dan keagamaan telah tenggelam disapu oleh badai liberealisme,
kapitalisme, dan hindonisme yang materialistis, sehingga tidak ada satu
kekuatan pun di negeri ini yang akan mampu membendung gelombang korupsi dan
manipulasi.
Piagam Jakarta seperti yang termaktub
dalam Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 , dengan keputusan Presiden No150
tahun 1959, sebagaimana ditempatkan dalam Lembaran Negara No75/1959 mengakui hak
tersebut. Keputusan Presiden ini sah berlaku, dan tak dapat dibatalkan
melainkan harus bertanya dahulu kepada rakyat lewat referendum (Ridwan Saidi,
Piagam Jakarta ,Tinjauan Hukum dan Sejarah, 2007).
-O-
Sepuluh tahun pasca reformasi , apapun
pembenaran yang telah dilegitimasi oleh elite politik kita . Toh..Nyatanya tak
bisa dipungkiri , bahwa kedaulatan bangsa ini semakin lama semakin tak punya
arti lagi. Ataukah mungkin sudah saatnya mempertimbangkan kembali
“referendum” lewat ekstra Konstitusi ? Agar tidak semakin jauh kita
‘ngalor-ngidul” yang akhirnya benar-benar “kusut”.
Pemilu 2009 sudah didepan mata , jangan
lagi kita bermain-main dan berspekulasi mempertaruhkan 200′an juta lebih jiwa
rakyat hanya untuk sekedar meraih kepentingan berjangka pendek semata.
Berpikir cerdas tanpa melibatkan
perilaku anarkis , itu yang kita butuhkan saat ini bukan? Semoga artikel ini
memberi sumbangan pikiran untuk ber-Bangsa dan ber-Negara agar lebih bermakna
dan lebih berarti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar